kholvad.com – Para orangtua kini diminta lebih waspada terhadap bahaya konten “anomali digital” yang semakin banyak beredar di media sosial. Konten seperti “Tung Tung Sahur”, meskipun terlihat lucu, bisa memberikan dampak negatif bagi perkembangan otak anak. Jika dikonsumsi berulang, konten jenis ini berisiko menyebabkan brain rot—yakni kemunduran fungsi berpikir dan kemampuan intelektual.
Edukator parenting Nurul Utami melalui akun TikTok-nya @tamiinurul menyampaikan peringatan penting. “Konten seperti ini terlihat sepele, tapi bisa menyebabkan anak kehilangan nalar sehat. Misalnya, anak tiba-tiba bilang cappuccino bisa menari atau punya anak,” ujarnya, Selasa (24/6/2025).
Konten anomali memiliki ciri berupa karakter dan alur cerita absurd, tak masuk akal, dan tidak mengandung nilai edukatif. Ini berbeda jauh dari tayangan kartun konvensional yang punya narasi terarah dan pesan pembelajaran.
Dampak Konten Anomali: Bahasa Aneh hingga Hilangnya Nalar Kritis
Nurul menjelaskan bahwa anak-anak yang terlalu sering menonton konten anomali akan mulai kehilangan kemampuan berpikir kritis. Hal ini terlihat dari perubahan pola bahasa dan respons mereka. “Siapa yang anaknya pulang bawa istilah aneh seperti ‘tralalelo’ atau ‘tung tung sahur’? Itu tanda sudah terpapar,” tegasnya.
Ironisnya, sebagian orangtua justru menganggap konten tersebut sebagai hiburan biasa. Padahal, dalam jangka panjang, tayangan seperti itu bisa membentuk pola pikir tidak rasional dan mengganggu proses tumbuh kembang kognitif.
Masalah ini makin parah jika penggunaan gadget tidak diawasi. Konten tersebut mudah diakses karena sering muncul di platform populer seperti YouTube atau TikTok, tanpa filter usia.
Baca Juga: Panasonic Akan PHK 10.000 Karyawan, Mayoritas di Jepang“
Langkah Bijak Orangtua untuk Tangkal Dampak Konten Tidak Edukatif
Untuk mengatasi dampak konten anomali, Nurul membagikan langkah-langkah praktis yang bisa diterapkan orangtua di rumah:
- Lakukan koneksi sebelum koreksi – Bangun hubungan emosional sebelum mengoreksi tontonan anak.
- Ajak diskusi santai – Tanyakan apa yang anak pahami dari tayangan tersebut.
- Jelaskan dengan bahasa sederhana – Sesuaikan penjelasan dengan usia dan pemahaman anak.
- Pantau dan seleksi konten – Hanya izinkan tayangan yang sesuai usia dan bermanfaat.
- Buat daftar tontonan berkualitas – Arahkan ke konten edukatif seperti sains, budaya, atau nilai moral.
- Terapkan aturan tetap – Tetapkan batas waktu layar dan konsisten menerapkannya.
“Orangtua harus menjadi filter pertama anak terhadap konten digital. Jangan tunggu sampai anak kehilangan kemampuan memilah informasi yang baik,” tutup Nurul.
Tren Konten Anomali di Era Digital dan Ancaman Nyata Brain Rot pada Anak
Fenomena konten anomali seperti “Tung Tung Sahur” dan “Tralalelo” mencerminkan tren baru dalam konsumsi hiburan digital di kalangan anak-anak. Dalam sebuah laporan oleh Common Sense Media, anak-anak usia 8 hingga 12 tahun rata-rata menghabiskan 5 hingga 6 jam per hari di depan layar, dan sebagian besar waktu tersebut digunakan untuk menonton video pendek yang tidak terkurasi.
Menurut American Academy of Pediatrics (AAP), paparan konten absurd dan repetitif dapat berdampak negatif pada fungsi eksekutif otak, yaitu kemampuan untuk berpikir logis, mengatur emosi, dan membuat keputusan. Ketika anak-anak disuguhi konten berulang tanpa struktur cerita yang jelas, otak mereka kehilangan tantangan untuk berpikir, menganalisis, dan membangun pemahaman konseptual.
Hal ini memunculkan istilah populer “brain rot”, yang meskipun bukan istilah medis resmi, digunakan secara luas oleh komunitas digital dan pakar parenting untuk menggambarkan penurunan kualitas berpikir akibat konten digital yang tidak mendidik.
Dalam konteks Indonesia, literasi digital keluarga masih tergolong rendah. Berdasarkan data Kementerian Kominfo (2024), hanya 32% orangtua yang secara aktif memfilter dan mendampingi anak dalam mengakses konten daring. Ini memperparah dampak dari konten anomali, apalagi di platform seperti TikTok atau YouTube Shorts yang menggunakan algoritma untuk terus menyajikan video serupa secara otomatis.
Penting bagi para orangtua dan pendidik untuk memahami bahwa pengaruh konten digital tidak hanya bersifat visual, tapi juga membentuk cara berpikir dan budaya komunikasi anak. Mencegah terjadinya “brain rot” bukan sekadar melarang, tapi mengarahkan konsumsi digital anak pada konten yang bermakna dan sesuai usia.
Baca Juga: Kemendiktisaintek Diminta Tinjau Ulang Sumpah Rektor UPI
Leave a Reply